Senin, 05 Desember 2011

MANUSIA TERBUKA TANPA BATAS


MANUSIA TERBUKA TANPA BATAS

Seluas Segala Kenyataan
               “Apakah itu?” (What it is?) merupakan sebuah pertanyaan sederhana yang sering dilontarkan oleh anak-anak kepada orang tuanya. Pertanyaan seorang anak ini ternyata diteruskan oleh ilmu pengetahuan dengan bertanya tentang what it is. Maka, jawaban pengandaian adalah that it is.  Inilah tema utama metafisika. Yang sangat istimewa dalam metafisika ialah bahwa pertanyaannya bukan what it is tetapi terfokus pada that it is.
             Buku metafisika ini oleh penulis disebut “Seluas Segala Kenyataan,” yang diambil dari salah satu buku Herman Berger dalam bahasa Belanda: Zo Wijd (seluas) als alle Werkelijkheid (kenyataan). Namun, kata-kata “seluas segala kenyataan” ini pun tidak asli dari Berger. Dalam sejarah filsafat, ada tiga filsuf yang menggunakan kata yang serupa. Thomas Aquino (1224-1274) menyebut roh manusia dalam tulisannya, anima quomodo omnia: jiwa dalam arti tertentu segala apa. Enam belas abad sebelum Thomas Aquino, Aristoteles (384-322 SM) telah menggunakan kata-kata yang sama Dan dua abad sebelumnya dalam tulisan Heraklitus (540-475) ditemukan kata-kata: “Batas jiwamu tak akan kau temukan.” (lih. Kata Pengantar hlm. ix).
           Mengapa metafisika ini disebut “seluas segala kenyataan”? Karena kata it is. Dalam kata it is tersentuh all what is. Manusia terbuka tanpa batas. Sepanjang sejarah metafisika, Aristoleleslah yang pertama kali merumuskan metafisika sebagai “kenyataan sekadar kenyataan”. Tentang segala kenyataan disebutkan sebagai it is. Kata it is sendiri merupakan kata yang sangat sederhana namun paling luas, paling kaya, dan paling dimanis serta menjadi nama Allah sendiri (Aku adalah Aku). F.J. Sheed dalam bukunya Theology and Society menyebutkan “it is the hardest thing in the world to take the word ‘is’ seriously. It is the most rich and the most dynamic of all words; it is the key word in the name of God Himself.” (lih. hlm. 33).

Transcendental Thomism
Dalam sejarah metafisika penulis membedakan tiga langkah. Langkah pertama dimulai dari Aristoteles yang untuk pertama kali merumuskan Metafisika sebagai ”kenyataan sekadar kenyataan” (ens in quantum ens). Metafisika Aristoletes terbatas hanya pada ada dua cara berada yang paling tinggi (substansi-aksidens). Suatu aksidens tidak berada tanpa subjek (substantia). Berikutnya, metafisika Thomas mengarah ke metafisika ada  yang berpusat pada it is. Namun tentang nilai ”keunikan” Thomas belum konsekuen. Neo-Thomisme, yang disebut juga Transendental Thomism, merupakan metafisika masa kini yang membantu kita membuka cakrawala tentang ”yang transenden”. Neo-Thomisme secara lebih konsekuen menjadi suatu metafisika mengada yang membela diri terhadap kritik dari Heidegger (Seinvergessenheid, pelupaan mengada) dan kritik dari Levinas (metafisika mengorbankan keunikan). Dalam metafisika mengada, tulis P. Adelbert, justru terdapat relasi vertikal (personal dan metafisis) yang mendasari kesatuan sekaligus keunikan. Disinilah puncak sekaligus paradoks metafisika ini; implisit-eksplisit, ilahi-manusiawi, terbatas-tak terbatas (bdk. hlm. 194-196).
            Transcendental Thomism yang dimaksud adalah penganut setia intuisi Thomas yang menuju suatu metafisika mengada. Disebut ”transendental” karena memakai metode tansendental yang dimulai secara eksplisit oleh Immanuel Kant. ”Titik tolak” filsafat I. Kant ialah ”dualisme” (Das Ding an sich; kenyataan asli terpisah oleh jurang yang tak terlewati dari kenyataan  yang dikenal manusia). Dengan ’dualisme” inilah I. Kant menghancurkan dasar suatu metafisika realisme (tradisi Aristoteles dan Thomas Aquinas).
          Pertanyaan fundamental metode Transcendental Thomism ialah ”apakah yang memungkinkan manusia dapat bertanya tanpa batas” (E. Coreth) atau ”apakah yang memungkinkan manusia sadar akan keterbatasan pengetahuannya” (De Petter). Jawabannya ialah bahwa dari awal, dalam diri manusia, hadir suatu ”pra-pengetahuan” yang seluas segala kenyataan. Pra-pengetahuan ”seluas segala kenyataan” berarti bahwa dari awal, pengetahuan dan kenyataan tidak terpisah. Manusia terbuka tanpa batas. Maka, ”dualisme” I. Kant bukanlah titik tolak pengetahuan melainkan ”kesatuan” yang menjadi titik awal yaitu kehadiran suatu pra-pengetahuan yang seluas segala kenyataan. Dengan demikian idealisme I. Kant digugat dan metafisika realisme Arsitoteles dan Thomas Aquinas dipulihkan.

Metaphysical Insight
        Zaman sekarang scientifical insight mulai didewa-dewakan seolah-olah menjadi jalan yang satu-satunya untuk memperoleh paham. Pandangan ini yang dikenal sebagai scientism. Saintisme sendiri bukan merupakan science melainkan suatu filsafat yang mau mengatakan sesuatu tentang segala kenyataan, suatu de-totalisasi kenyataan. Kenyataan yang multidimensional menjadi one-dimensional. Saintisme itu bersifat one-dimensional karena terbatas pada dimensi empiris. Sementara manusia bersifat multidimensional (spirit in matter) dan paham pun bersifat multidimensional. Kenyataan tak dapat disamakan dengan kenyataan yang terbuka untuk indera. Filsafat dan metafisika menemukan dimensi-dimensi yang melewati kenyataan yang kelihatan. Buku ini menyadarkan kita tentang sifat multidimensional manusia.
Metafisika, berdasarkan observasi kenyataan (it is) bergerak menuju paham berdasarkan prinsip “harus masuk akal” untuk menuju philosophical insight dan metaphysical insight. Kenyataan segala pengada di dunia ini “berada” namun tidak mempunyai dasar keberadaan pada diri sendiri tidak juga ditemukan dengan menunjuk kepada yang sebelumnya yang juga tidak mempunyai dasar pada dirinya sendiri. Hal yang sama berlaku untuk seluruh proses evolusi Darwin. Model seperti ini berada pada tataran horizontal yang harus ditinggalkan dengan mengakui kehadiran suatu relasi vertikal antara segala pengada dan yang Mutlak-Ada. Alam semesta tidak masuk akal tanpa kehadiran Tuhan Pencipta. Dalam observasi empiris dan fisik it is ikut tersentuh yang “meta-empiris” dan  “meta-fisis” dari awal. Kenyataan yang “Mutlak-Ada” ikut tersentuh saat terungkap it is. Kata yang sederhana namun kaya dan dinamis.

Sifat Transendental
      Thomas Aquinas mengatakan bahwa dalam diri manusia pra-pengetahuan mendahului dan memungkinkan segala pengetahuan manusia. Pra-pengetahuan itu hadir dalam diri manusia bagaikan “benih”. Konsep-konsep dasar ialah pengetahuan “ada” dengan segala sifat dan prinsip-prinsipnya yang “seluas segala kenyataan”. Jadi “ada” langsung diketahui bersamaan dengan sifat-sifatnya yang transendental. Sifat transendental yang dimaksud ialah luas kenyataan sama dengan aktus mengada, it is. Segala yang dikatakan tentang kenyataan sekadar kenyataan berlaku juga untuk segala sifat yang seluas dengan it is (aktus mengada).
           Sifat transendental yang dibahas dalam buku ini terbatas pada empat sifat yang masing-masing menjadi dasar untuk berbagai prinsip metafisis yang berlaku bagi kenyataan sekadar kenyataan. Keempat sifat transendental itu ialah: Tiap pengada merupakan suatu kesatuan (omne ens est unum), tiap pengada adalah benar (omne ens est verum), tiap pengada adalah baik (omne ens est bonum), dan tiap pengada itu indah (omne ens est pulchrum).
Diferensiasi ontologis yang dasariah antara kenyataan yang kontingen dengan kenyataan yang Mutlak Ada hadir dalam segala sifat transendental. Aristoteles membedakan antara berada sebagai substansi dan berada sebagai aksidens. Sementara dalam metafisika Thomas aktus mengada (actus essendi) menjadi pusat. Sifat-sifat transendental yang luasnya sama dengan it is menjadi tema sentral metafisika Thomas. Tingkat-tingkat kesatuan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan sesuai dengan tingkat-tingkat mengada. Luas segala sifat transendental sama untuk segala kenyataan namun berbeda antara yang kontingen dan yang Mutlak Ada. Kenyataan yang kontingen sungguh merupakan suatu kenyataan dan intrinsik (it is), namun tidak mempunyai dasar keberadaan pada diri sendiri. Yang Mutlak Ada yang identik dengan kepenuhan mengada mengikutsertakan para pengada untuk berpartisipasi dalam kepenuhan mengada, dalam keunikan-Nya, kebenaran-Nya, Kebaikan-Nya, dan keindahan-Nya.

Dua Rumusan Menarik
          Dua ungkapan menarik yang khas dalam metafisika ini bersifat paradoksal. Pertama, metafisika disebut visio in statu scientiae, yaitu visi yang dari awal menyentuh it is secara keseluruhan, namun dieksplisitkan melalui keputusan dan predikat yang bersifat abstrak. Inilah kekhasan dari segala eksplisitasi. Visio in statu scientiae merupakan suatu “visi” yang dieksplisitkan menjadi “ilmu”. Sebagai “visi” disadari kehadiran suatu pra-pengetahuan yang bersifat total, menyeluruh, tak terbatas, seluas segala kenyataan, namun implisit. Metafisika mengusahakan suatu eksplisitasi, namun tak mungkin ekshautif, tetap terbatas. Proses eksplisitasi lebih merupakan ilmu yang terungkap dalam keputusan dan predikat suatu keputusan merupakan pengertian. Pra-pengetahun sebagai pengetahuan mengada lebih merupakan visi, sedangkan eksplisit yang terungkap dalam keputusan lebih bersifat ilmu.  Hal ini menjadi dua kebenaran yang bertentangan, namun hanya benar dalam kesatuan (bdk. Hlm. 177-178).
          Kedua, “Paradoks, manusia berziarah”. Dalam BASIS  No. 09-10, 2007, hlm. 3-9, Tom Jacobs menulis suatu karangan yang berjudul “Paradoks, Manusia Berziarah”. Manusia merupakan paradoks, maka bersifat “berziarah menuju”. Sebuah paradoks yang tak mungkin terhapus. Manusia adalah ilahi sekaligus manusiawi yang tak mungkin terungkap secara eksplisit. Demikian juga Yang Mutlak-Ada tidak akan pernah terungkap secara eksplisit. Bahasa manapun tak akan mampu menjelaskan-Nya.
           Metafisika sebagai eksplisitasi tetap terbatas. Namun keterbatasan itu disadari (ignorantia docta). Adoro quia ignoro, kata Nikolas dari Cusa. Manusia hanya mampu berdiam diri dan bersujud sembah (beradorasi) dan kemudian meneruskan perjalanan “menuju”. Metaphysycal insight bersifat paradoks, visio in statu scientiae, suatu eksplisitasi yang tak pernah sampai pada titik selesai. “Mari kita mulai sekali lagi” merupakan ungkapan khas bagi spiritualitas metafisika.
***
         Manusia makhluk yang paradoksal (terbatas dan tak terbatas). Dua kebenaran yang bertentangan namun hanya benar dalam kesatuan. Paradoks yang merupakan kata inti telah muncul dalam buku pertama pengarang buku ini, “Manusia, Paradoks dan Seruan” (Kanisius, 2004) dan dalam buku kedua “Manusia dan Kebenaran” (Kanisius, 2006), dan kembali muncul dalam buku ketiga “Seluas Segala Kenyataan” (Kanisius, 2009). Manusia memang terbuka tanpa batas namun terbatas juga. Ketiga buku di atas merupakan suatu trilogi karena merupakan satu kesatuan.
Ternyata “bermetafisika” merupakan suatu kegiatan manusiawi yang asli dan otentik namun membutuhkan “rangsangan”. Manusia disebut a metaphysical being. Buku Metafisika ini bermaksud “merangsang” embrio metafisika yang bagaikan suatu pra-pengetahuan hadir “kongenital” (existing from birth) dalam diri manusia segala zaman untuk menuju ke kedewasaan. Maka, penting setia kepada pra-metafisika yang hadir dalam diri kita. Inilah pesan buku metafisika yang berjudul “Seluas Segala Kenyataan”. Sebuah pesan urgent dan aktual dalam zaman kita di mana manusia tergoda ke arah sekularisme dan saintisme.
Seperti dua buku sebelumnya, buku “Seluas Segala Kenyataan” ini agak sulit dimengerti oleh mereka yang tidak terbiasa dengan bacaan-bacaan filsafat. Masih banyak ungkapan dalam bahasa asing yang tidak diterjemahkan karena terjemahan sering kali melemahkan apa yang mau disampaikan pengarang. Untuk memahami buku ini penting mulai membaca kata pengantar (hlm. ix-xiii) dan kata penutup (hlm. 323-327).

Seluas Segala Kenyataan


BUKU YANG MERANGSANG

Judul Buku      : Seluas Segala Kenyataan
Penulis             : Dr. Adelbert Snijders, OFMCap.
Penerbit           : Kanisius
Tahun              : 2009
Halaman          : xiii + 334 hlm.
ISBN               : 978-979-21-2287-9

            “Apakah itu?” (What it is?) merupakan sebuah pertanyaan sederhana yang sering dilontarkan oleh anak-anak kepada orang tuanya. Pertanyaan seorang anak ini ternyata diteruskan oleh ilmu pengetahuan dengan bertanya tentang what it is. Maka, jawaban pengandaian adalah that it is.  Inilah tema utama metafisika. Yang sangat istimewa dalam metafisika ialah bahwa pertanyaannya bukan what it is tetapi terfokus pada that it is.
            Zaman sekarang saintisme (ilmu) mulai didewa-dewakan sebagai salah satu cara untuk memperoleh paham, yaitu scientifical insight tentang what it is yang dibuktikan secara empiris. Saintisme itu bersifat one-dimensional. Sementara manusia bersifat multidimensional dan pahampun bersifat multidimensional.
            Buku metafisika ini oleh penulis disebut “Seluas Segala Kenyataan,” yang diambil dari salah satu buku Herman Berger dalam bahasa Belanda: Do Wijd (seluas) als alle Werkelijkheid (kenyataan). Namun, kata-kata “seluas segala kenyataan” ini pun tidak asli dari Berger. Dalam sejarah filsafat, ada tiga filsuf yang menggunakan kata yang serupa. Thomas Aquino (1224-1274) menyebut dalam tulisannya, anima quomodo omnia: jiwa dalam arti tertentu segala apa. Enam belas abad sebelum Thomas Aquino, Aristoteles (384-322 SM) telah menggunakan kata-kata yang serupa dalam bukunya De anima III. Dan dua abad sebelumnya dalam tulisan Heraklitus (540-475) ditemukan kata-kata yang serupa: Batas jiwamu tak akan kau Temukan.” (hlm. ix).
            Mengapa metafisika ini disebut “seluas segala kenyataan”? Karena kata it is. Dalam sejarah metafisika, Aristoleleslah yang pertama kali merumuskan metafisika sebagai “kenyataan sekadar kenyataan”. Tentang segala kenyataan disebutkan sebagai it is. Kata it is sendiri merupakan kata yang sangat sederhana namun paling luas, paling kaya, dan paling dimanis serta menjadi nama Allah sendiri (Aku adalah Aku). F.J. Sheed dalam bukunya Theology and Society menyebutkan “it is the hardest thing in the world to take the word ‘is’ seriously. It is the mosi rich and the most dynamic of all words; it is the key word in the name of God Himself.” (hal.33). Metafisika Aristoletes terbatas hanya pada ada dua cara berada  (substansi-aksidens). Berikutnya, metafisika Thomas mengarah ke metafisika ada  yang berpusat pada it is. Namun tentang nilai ”keunikan” Thomas belum konsekuen. Neo-Thomisme (disebut juga Transendental Thomism) merupakan metafisika masa kini yang membantu kita membuka cakrawala tentang ”yang transenden”. Neo-Thomisme secara lebih konsekuen menjadi suatu metafisika mengada yang terbuka terhadap segala jenis kritik (kritik dari Heidegger dan Levinas – metafisika mengorbankan keunikan). Dalam metafisika mengada, tulis P. Adelbert, justru terdapat relasi vertikal yang mendasari kesatuan sekaligus keunikan. Disinilah puncak metafisika ini.
Buku Metafisika ini bermaksud “merangsang” embrio metafisika yang bagaikan suatu pra-pengetahuan hadir “kongenital” (existing from birth) dalam diri manusia untuk menuju ke kedewasaan. Sebab, bermetafisika merupakan suatu kegiatan manusiawi yang asli dan otentik namun membutuhkan “rangsangan”.
            Buku ini dibagi atas 10 bab di mana komposisi setiap bab terdiri dari lima sampai 11 subbab. Untuk memahami buku ini penting mulai membaca kata pengantar (hlm. ix-xiii) dan kata penutup (hlm. 323-327). Bab V menjadi puncak buku ini yaitu mengenai it is yang menjadi dasar kesatuan dan keunikan.
            Dalam bab I penulis mencoba membuka pandangan kita tentang metaphysical insight. Tema metafisika ialah it is, yaitu tentang kenyataan sekadar kenyataan.  Kata it is dalam bahasa Indonesia berarti kenyataan. Dan, kenyataan ini bersifat analog. Paham yang diusahakan bukan scientifical insight (sains), melainkan metaphysical insight (metafisika).